Rabu, 15 Agustus 2012

Banner Blogger Unhas



Ayo Pasang Banner ini Klo mang kamu blogger Universitas Hasauddin, agar Keraaan Universitas kita lebih Merah!!!! kalo berminat, silahkan masukkan kode dibawah ini di Gadget HTML anda. salam Blogger UNHAS
<center>
<a href="www.unhas.ac.id" title="Blogger Unhas" target="_blank"><img alt="Blogger Unhas" src=" http://i46.tinypic.com/359d205.jpg " /></a></center></center>

Cerita Lucu dengan Pak Polisi (nyata)

Sumber gambar: Kaskus
Kali ini saya akan bercerita pengalaman saya kena tilang dengan polisi kocak.
Dari pada berlama-lama, saya langsung saja ceritakan.
Beberapa waktu yang lalu, saya ditilang karena alasan spion motor saya tidak memenuhi persyaratan.
setelah diberhentikan saya dimintai SIM dan STNK. saya serahkan cuma STNK (dengan pajak yang kadaluarsa, tapikan tidak jadi masalah), Karna SIM dan semua identitas saya Hilang. Trus si Pak Polisi menyuruh untuk ikut ke Pos Polisi dgna menahan STNK saya. Saya pun ikut.
Setelah sampai di Pos, si pak polisi menjelaskan kesalahan saya

  1. Spion bukan standar yang di tetapkan
  2. Mengendarai kendaraan tanpa dilengkapi surat2
  3. Pajak STNK kadaluarsa

Dari beberapa alasan tersebut tidak sepenuhnya saya terima. yang saya akui sebagai kesalahan hanya pada poin dua (trus ayu tintin datang : dua.... sar*mi isi dua sar*mi, sar*mi isi duaaaa....) karena Sion saya baru kalu ini dipermasalahkan, sudah beberapa kali saya di setop pak Polisi taoi tidak pernah mempermasalahkan Spion. Trus pajak STNK kan tidak ada urusannya sama Polisi.
Sehingga Terjadi Perdebatan Kusir antara saya dan si "oknum" Polisi. Saya pun jadi dongkol saat dia bilang saya "bodoh". Enak saja dia bilang saya bodoh, saya belajar sudah 16 Tahun atau lebih dari 60 % hidup saya. Dan dapat digaris Bawahi, di cetak tebal, miring dan diberi lampu terang-terang kalo itu semua TIDAK GRATIS dan seenaknya saja si Pak polisi bilang saya bodoh??. saya jelas tidak terima, bukannya saya takabur dan yakin diri saya pintar, tapi ini termasuk penghinaan dan merupakan perlakuan yag tidak menyenangkan serta bisa dipidanakan.
Lucunya dimana?
Lucunya disini, saat dia tanya , "adek ini mahasiswa?" saya jawab iya pak. trus nanya lagi "dimana?". sya jawab lagi "Unhas pak Makassar". Trus dia bilang "Kamu cuma Mahasiswa Unhas saya ini Alumni Mahasiswa di UI Jakarta". Dalam hati saya "trusss??. saya gantian nanya "di jurusan apa pak?". Si bapak jawab "Jurusan Komunikasi Hubungan Internasional". Saya Heran Mang ada jurusan begitu??. Sayapun tangkis jawabannya "pak mang ada Jurusan Komunikasi Hubungan Internasional?"
"Iya Jurusan Ilmu Komunikasi Hubungan Internasional" tangkisnya lagi
"gini ya pak, setau saya Ilmu Komunikasi dan HI itu beda jurusan pak" tak\ngkisku lagi
"tahu apa kamu saya kan kuliah disana empat tahun" Tangkisnya lagi
"saya pernah studi banding di sana pak, dan itu jurusan berbeda. ada jurusan Ilmu Komunikasi ada jurusan HI" tagkisku lagi (dan kemudiankami bermain Bulu tagkis)
"oh begitu, saya bru ingat saya jurusan Ilmu Kounkasi" ngelak dia
"tapi kok gelarnya S.Sos? kan komunikasi S.I.Kom?" heran saya sambil senyum licik
dia pun naik pitam dan mengancam bukan cuman STNK saya yang ditahan Tapi juga Motor saya. lah dendam. dan dia lebih marah lagi saat saya tanya, "pak apa ukuran spion yang standar?" lebernya berapa tingginya berapa?". "yang standar, Pokoknya strandar". dia kemudian tulis surat tilang yang juga saya proes karena kok cuma selembar. maksudnya tidak ada lembaran untuk di tembuskan kemana. dia pun menawarkan untuk bayar 150.000 dan semuanya selesai disini. kataya ada aturannya di surat tilang yang cuma selembar itu. saya pun tidak percaya dan memilih di pengadilan saja.

INIKAH PELAYANAN PRIMA DARI POLISI YANG NOTA BENE PELAYAN MASYARAKAT???
Kasihan POLISI yang jujur, mereka selalu di generalisasikan dengan polisi kocak yang setahu saya jumlahnya tidak sedikit menurut beberapa cerita lainnya.
Salam dari saya.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Tuhan Tidak Pernah Benar

Oleh: Gede Prama
 Setiap jenjang kedewasaan yang lebih tinggi, demikian pengalaman saya bertutur, sering kali mentertawakan jenjang kedewasaan di bawahnya. Ketika baru saja mulai belajar bekerja sebagai seorang sarjana baru di salah satu perusahaan Jepang, kerap kali dalam rapat saya ditertawakan orang karena berbicara dengan jargon-jargon universitas yang asing. Tatkala baru belajar berbicara di depan umum, tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa muka saya merah ketika didebat orang. Pada saat baru belajar memimpin orang, sejumlah bawahan memberi masukan kalau saya mudah sekali tersinggung. Pada tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan saya sebagai manusia, pernah terjadi Tuhan tidak pernah saya anggap benar. Ketika belum jadi manajer, memohon ke Tuhan agar jadi manajer. Namun, begitu merasakan beratnya duduk di kursi pimpinan ini, maka Tuhanpun disesalkan. Tatkala, naik bus kota sering berdoa agar punya mobil. Saat mobil sudah di tangan, kemudian menggerogoti kantong dengan seluruh kerusakannya, maka salah lagilah Tuhan.
Sekarang, ketika tabungan pengalaman dan kesulitan telah bertambah, rambut sudah mulai memutih, badan dan jiwa mulai lebih tahan bantingan, terlihat jelas, betapa naif dan kekanak-kanakannya saya pernah jadi manusia.
Yang membuat saya super heran, kalau bertemu orang dengan umur yang jauh lebih tua dari saya, tetapi memiliki tingkat kenaifan yang sama dengan saya ketika masih amat muda.
Bekerja dengan orang lain, bahkan termasuk dengan pemilik perusahaanpun, tidak ada yang dinilai benar dan pintar. Setiap orang, di mata orang ini, hanyalah kumpulan manusia yang tidak patut dihargai. Kecuali, tentunya manusia-manusia dengan isi kepala yang sama, atau mau berkorban menyesuaikan diri sepenuhnya.
Di salah satu perusahaan yang menjadi klien saya, orang mengenal seorang pimpinan yang diberi stempel Mr. Complain. Semua orang di sekitarnya -dari sekretaris hingga boss besar- dikeluhkan begini dan begitu. Dengan saya, Tuhanpun sering di-complain. Dari salah profesi, keliru memilih istri, anak-anak yang tidak bisa diurus, sampai dengan pemilik perusahaan yang dia sebut super kampungan. Sebagai hasilnya, ia memiliki koleksi musuh yang demikian banyak, pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain, dan yang paling penting memiliki kehidupan yang kering kerontang.
Di mata orang-orang seperti ini, Tuhan senantiasa tidak pernah benar. Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja lingkungan dan rezekinya. Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan.
Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia Tuhan yang paling berharga. Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, ketrampilan, dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda sendiri.
Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk satu orang saja. Pabrik mobil sangat sedikit yang membuat mobil hanya untuk satu orang saja. Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang saja. Kalaupun ada tukang jahit, pabrik mobil dan arsitek yang membuat disain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa menirunya.
Tetapi Tuhan, mendisain setiap manusia semuanya dengan keunikan. Bahkan, manusia kembarpun tetap unik. Dan yang paling penting, tidak ada satupun yang bisa meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda. Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan untuk mendisain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru siapapun.
Bercermin dari sini, disamping kita harus berterimakasih ke Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada tiruannya, sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam diri ini bisa dimaksimalkan.
Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik saya seorang diri. Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah dia sebagai energi keberhasilan. Orang Bali dengan logat Batak, hanyalah milik saya seorang diri, belakangan justru ini yang membuat pembicaraan saya khas. Penulis manajemen yang berkombinasi dengan konsultan, eksekutif dan bercampur dengan sedikit darah seniman, bisa jadi hanya menjadi milik saya seorang diri. Tidak semua orang suka tentunya dengan saya, tetapi inilah saya yang amat saya banggakan dan saya syukuri. Herannya, semakin banyak kebanggaan yang saya sukuri, badan ini menarik saya ke serangkaian kebanggaan yang lebih membanggakan lagi. Bahkan, terhadap satu unsur badan yang sebenarnya tidak berubah-sebagai contoh hidung dengan meningkatnya rasa sukur, ia tampak lebih menarik dan menarik. Demikian juga dengan istri, anak, mertua dan rezeki Tuhan lainnya. Mereka bertambah cantik, menarik dan mendukung sejalan dengan semakin banyaknya rasa syukur.
Kembali ke cerita awal tentang manusia yang kerap menempatkan Tuhan dalam posisi tidak benar selalu, sudah saatnya mungkin kita menerima dan menghargai seluruh keunikan yang hanya milik kita sendiri.
Kalau memiliki rumah, mobil, baju yang hanya didisain khusus untuk kita, tentu saja ia amat membahagiakan dan membanggakan. Demikian juga dengan tubuh dan jiwa ini. Ia hanya didisain khusus untuk kita.
Baik, buruk, cantik, ganteng, menarik, simpatik atau membosankan sekalipun, sebenarnya hanyalah judul dan stempel yang kita berikan ke tubuh unik yang kita bawa ke mana-mana ini. Bedanya, judul ini kemudian tidak hanya merubah mata Anda, tetapi juga mata orang lain dalam melihat diri Anda sendiri.

Rabu, 08 Agustus 2012

Manipulasi Simbolis Dunia Periklanan

sumber gambar:  http://www.posmetro-medan.com/?p=1640
Oleh : Endriani DS 
Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto
KITA memang hidup di alam simbolis. Kehidupan sehari-hari dunia modern ini, dikepung oleh takhayul simbol yang memanifestasi dalam bahasa periklanan di televisi (teve), di billboard pinggir jalan, di media cetak, di radio, dan di media-media lainnya.
Dalam situasi seperti itulah, masyarakat modern dibentuk, termasuk bagaimana mereka kemudian memosisikan diri dalam konstruksi sosial yang ada. Dalam kondisi itu pula, manusia modern memproyeksikan kebahagiaan, kegembiraan, kepuasaan, posisi, identitas diri, dan sebagainya.
Simbol adalah "bahasa kepercayaan''. Dalam bahasa Gustav Jung, kita menggunakan terminologi simbolik untuk merepresentasikan konsep yang tidak sepenuhnya kita kuasai. Pada dataran simbolis itulah, dunia perdagangan sehari-hari memanipulasi image, menciptakan ilusi yang secara sadar atau tidak kita telah melakukan tindakan berdasarkan pencitraan simbol-simbol tersebut.
Pertanyaannya, bagaimanakah simbol-simbol -terutama dalam dunia periklanan- dapat memersuasi masyarakat? Apakah kondisi masyarakat memang sudah demikian rentan, tidak mampu berpikir kritis, sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi oleh iklan-iklan tersebut?
Konstruksi Realitas
Risiko adalah ciri yang melekat pada segala aktivitas masyarakat global; dan tidak datang dari alam untuk manusia, tetapi merupakan akibat dari perbuatan manusia (manufactured risk).
Konsep risiko tidak ditemukan pada masyarakat yang berpikir fatalistik (segala sesuatu diterima sebagai kodrat ilahi), seperti masyarakat pada abad pertengahan.
Adapun masyarakat risiko (risk society), tak lain merupakan kondisi masyarakat modern yang -mau tidak mau- harus berada dalam masyarakat yang terbuka (open society). Kondisi masyarakat risiko, tercermin dalam kehidupan masyarakat modern, yang hidup dalam paradoks dan kontradiksi; paradoks antara kemajuan dan pengorbanan, antara untung dan rugi.
Situasi demikian, oleh Giddens disebut sebagai "modernitas kedua'', yang merupakan suatu periode peralihan masyarakat; dan peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan.
Dalam periode itu, tatanan lama dirobohkan, tapi belum juga dibangun dan diganti dengan yang baru (Sindhunata, Menuju Masyarakat Resiko, Basis: 2000).
Masyarakat risiko yang mengalami anomali karena kehilangan pegangan nilai dan tradisi itulah, yang sangat potensial disusupi nilai, ideologi global di dunia yang sudah tanpa batas (boderless).
Realitas masyarakat risiko yang rentan, terlihat jelas jika dihubungkan dengan kapitalisme mutakhir, yang telah menjadi fenomena kontemporer karena mampu mencengkeram hampir tiap lini kehidupan masyarakat lewat bisnis Trans Nasional Corporative (TNC's).
TNS's banyak memanfaatkan realitas "ruang kosong'' masyarakat yang telah kehilangan pegangan dan identitas, untuk kepentingan industri berskala internasionalnya. Ruang kosong yang berisi imajinasi, ilusi, fantasi, halusinasi, diproduksi secara simbolis melalui ruang-ruang pencitraan dalam dunia iklan.
Dalam iklan, terjadi produksi realitas menjadi realitas semu (maya) lewat produksi tanda atau citra. Berkaitan dengan itu, Baudrillard mengungkapkan empat fase perkembangan citra, yaitu citra sebagai refleksi realitas, citra menyembunyikan absennya realitas, citra menyembunyikan dan menyimpangkan realitas, dan citra yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun (simulacrum murni). Simulacrum adalah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat kontemporer akan tanda (Yasraf Amir Piliang, Hiperealitas Kebudayaan, LKiS: 1999).
Melalui kancah reproduksi simbol (citra) itu, relasi individu dengan konstruksi sosial dibentuk oleh jalinan konsumerisme sehari-hari. Iklan memersuasi masyarakat kontemporer (konsumer) untuk bergaya hidup tertentu dan mengonsumsi produk tertentu; bahkan juga membebani konsumen dengan proyeksi atas identitas, kepuasan, rasa diterima, kegembiraan, kebahagiaan, dan prestise sosial. Semua itu, adalah hasil manipulasi simbolis dunia periklanan. Kini, masyarakat tidak mampu lagi membedakan antara realitas nyata dan realita buatan (hiper-realitas) media.
Kesadaran masyarakat modern dan posisinya dalam kontruksi sosial yang ada (bagaimana masyarakat kontemporer diorganisasikan), ditentukan oleh iklan. Massifikasi simbol melalui iklan, telah mempercepat terjadinya internalisasi kebudayaan (bahkan kooptasi kultural). Salah satu contoh, Coca-cola sebagai produk minuman yang tidak indegenious (tidak mempunyai muatan lokal) mampu mencetak angka penjualan tertinggi di Indonesia. Kesuksesan itu, merupakan hasil strategi periklanan yang mampu menciptakan pertautan emosional antara objek dengan konsumen lewat pencitraan.
Nalar Kritis
Bagi masyarakat saat ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-objek konsumsi. Yang dicari dalam berkomunikasi bukan lagi pesan-pesan dan inforasi, melainkan kegairah dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain dengan tanda, citraan dan medianya.
Konsumsi lebih dilandasi oleh nilai, tanda dan citraan, ketimbang nilai utilitas. Sementara logika yang mendasarinya, bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Apa yang diproduksi pasar, tak lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan palsu, kebutuhan yang diciptakan oleh para produsen.
Adorno, salah seorang tokoh mahzab Frankfurt, melihat hal itu sebagai salah satu bentuk penipuan massa (mass deception); ia menciptakan kebutuhan yang sebetulnya tidak dibutuhkan secara hakiki (Piliang: 1999).
Konsumerisme berlebihan (conspious consumption) sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya dilakukan para selebritis, kaum jet-set, remaja menengah perkotaan saja. Lebih parah lagi, belanja gaya hidup (life style shopping), sudah menjalar pada seluruh lapisan masyarakat, menjadi sebuah realitas yang tak terelakkan (taken for granted).
Deskripsi hidup manusia modern yang dikepung bahasa simbolis periklanan, layak mendapat perhatian. Iklan membuat manusia modern kehilangan daya kritis dan emansipatoris terhadap bagaimana beroperasinya simbol-simbol yang menjadi "bahasa kepercayaan'' itu.
Pada akhirnya, mereka teralienasi oleh ruang pencitraan dan terkepung rasionalitas instrumen; yakni mereka hanya tahu bertindak rasional, tapi tidak mampu memahami substansi dan tujuan tindakan tersebut.
Budaya masyarakat post-industri (konsumerisme) yang irasional dan menghegemoni kesadaran "massa'', perlu untuk dikritisi. Ada berbagai media untuk membuat counter balik, dan menumbuhkan sikap emansipatoris masyarakat.
Di antaranya studi kebudayaan kontemporer, yang berusaha menyingkap berbagai hal dalam proses produksi, reproduksi, distribusi, sampai ke proses identifikasi melalui simbol yang dimanfaatkan untuk mencari ruang-ruang tempat kreativitas individu masih bisa bermain.
Usaha advokasi, baik oleh institusi formal seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) maupun institusi informal semacam media watch, sangat baik untuk mendidik masyarakat agar bersikap kritis dan melindungi hak-haknya sebagai konsumen.
Tak kalah pentingnya adalah, memanfaatkan jalur periklanan itu sendiri seperti teve, media cetak, dan radio untuk menyadarkan masyarakat.
Salah satunya, dengan penyelenggaraan program televisi yang menguak seluk-beluk dunia periklanan. "Apa di balik iklan'', baik segi positif maupun negatifnya, dikupas secara proporsional untuk mendidik masyarakat. Hal itu juga dalam rangka mengembalikan fungsi fundamental media massa sebagai media public education, lewat program-programnya yang informatif dan educatif.
Jika konsumen telah terbangun dari posisinya sebagai "massa yang diam'' (silence mass), maka proses kreatif dan inovatif mereka akan muncul dengan sendirinya. Mereka akan mulai berusaha lepas dari cengkeraman kapitalisme global, yang selama ini mengkonstruknya.
Konsumen yang aktif, kritis, dan emansipatoris, akan memiliki bargaining position di era global. Mereka tidak sekadar menjadi objek, tapi juga subjek.
Dengan demikian, kerentanan masyarakat risiko yang mudah terindoktrinasi nilai dan ideologi global dapat dieliminasi, bahkan dapat dihapus. (41)

disclaimer:  
Artikel ini milik Endriani DS. Apabila ybs merasa keberatan, silahkan tinggalkan komentar, agar pengelolah blog ini menghapus post ini. terima kasih

Manusia Marx, John Roosa


Saat memutuskan untuk mempertahankan larangan terhadap Marxisme-Leninisme awal 2000, anggota MPR sebenarnya terbenam dalam kontradiksi logis. Kalau mau melarang sesuatu seseorang harus bisa mengidentifikasi, mendefinisikan dan tahu apa yang mau dilarang. Sementara untuk tahu apa yang dimaksud Marxisme-Leninisme orang harus membaca buku-buku yang dilarang oleh MPR. Pejabat pemerintah yang mau menegakkan aturan itu harus melanggarnya lebih dulu: mereka harus mempelajari apa yang akan mereka sensor. MPR menetapkan aturan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah dan tidak mungkin ditaati masyarakat pula. Negara mencap Marxisme-Leninisme sebagai sesuatu yang jahat tapi tidak mampu, tanpa melanggar hukumnya sendiri, merumuskan apa sesuatu itu: apakah sesuatu itu ideologi? Pendekatan filsafat? Metodologi ilmu sosial? Cara berpikir? Atau setan dari neraka yang bangkit tiap malam Jumat?
Karena hanya disuruh membenci tanpa pernah tahu apa yang dibenci, maka lahirlah pandangan irasional tentang Marxisme-Leninisme di Indonesia. Marxisme-Leninisme menjadi hantu yang keberadaannya harus dipercaya semua orang tapi tanpa seorang pun dapat menunjukkan wujudnya. Karena orang tidak bisa mengidentifikasi hantu itu, mereka cenderung percaya bahwa pejabat negaralah yang tahu caranya. Kabarnya beberapa pejabat tinggi, seperti para pengajar di Lemhanas, membaca buku-buku Marx dan Lenin dan memahami seluruh isinya (Artinya setiap orang yang diindoktrinasi oleh Orde Baru harus mencurigai para pejabat ini sebagai Marxis-Leninis). Jika negara memproklamirkan hantu Marxisme-Leninisme itu telah "menyusup" ke partai-partai politik, organisasi hak asasi manusia, serikat buruh, maka semestinya kita setuju bahwa negara lebih tahu soal itu dari kita. Walau partai atau organisasi yang kita lihat sebenarnya biasa saja, pejabat negara ternyata tahu wujud setan bertopeng itu. Mereka tahu cara melihat hantu; rupanya ada alat optik khusus yang membuat mereka bisa melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita. Kita tidak boleh bikin penilaian sendiri tentang baik-buruknya pemikiran atau organisasi tertentu; kita harus percaya para pejabat karena mereka lebih tahu dari kita. Mereka tahu semua bahaya laten di atas maupun bawah tanah. Para politisi pasca-Soeharto, yang menyetujui pelarangan Marxisme-Leninisme, rupanya tetap percaya bahwa orang Indonesia belum cukup umur untuk berpikir sendiri. Massa mengambang terus saja mengambang.
Sebenarnya sejak 1966 para pejabat negara itulah yang mengambang dalam ketidaktahuan. Mereka mendapat tugas melarang sesuatu yang tidak mereka pahami, sehingga mahasiswa Indonesia dengan bebas membaca karya Antonio Gramsci karena para pejabat tidak tahu bahwa ia seorang Marxis. Tapi di sisi lain ada tukang bakso miskin yang menulis "PKI Madiun Bangkit" di dinding rumahnya tahun 1995, dan langsung diseret ke kantor polisi dan diinterogasi karena dianggap pimpinan PKI bawah tanah yang baru. Pejabat negara terus menengarai kehadiran PKI dalam gambar di sampul kaset, cincin dan kaos oblong. Di Jawa Tengah, bahkan merek baju Hammer (Palu) dan jeans Tira (kalau dibalik, Arit) dicurigai sebagai "cara-cara komunis menyampaikan pesan".
Tentu saja kebanyakan orang Indonesia, berhadapan dengan negara yang terus bicara tentang Marxisme-Leninisme sebagai hantu jahat tanpa pernah menjelaskannya, ingin tahu apa sesungguhnya mahluk misterius itu. Atmosfir irasional, yang mirip dengan penggeropyokan dukun santet, tidak memungkinkan kita melihat soal yang sangat mendasar: kita sebenarnya tidak mungkin mendefinisikan Marxisme-Leninisme. Pelarangan sesuatu secara hukum bertolak dari anggapan bahwa sesuatu itu dapat didefinisikan. Tapi di sini hukum melarang sesuatu yang tidak pernah disepakati definisinya. Tak seorang pun dengan pasti bisa menyatakan apa sesungguhnya Marxisme-Leninisme itu. Perbedaan pendapat yang paling hebat justru terjadi di antara mereka yang menganggap diri sebagai pengibar bendera Marxisme-Leninisme. Perbedaan itu bukan semata soal istilah atau kata yang ditafsir berbeda tapi ada interpretasi yang bertentangan dan tidak dapat didamaikan.


Terjadinya Isme-Isme
Mari kita mulai dari istilahnya yang terdiri atas nama belakang dua orang, Marx dan Lenin, yang digabungkan dengan tanda hubung lalu diberi imbuhan -isme untuk menjadikannya sejenis doktrin. Analisis linguistik sederhana itu membawa pertanyaan: bagaimana hidup dan karya seorang Jerman (1818-1883) dan seorang Rusia (1870-1924) itu bisa menjadi -isme? Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin tidak pernah bertemu semasa hidup. Lenin adalah remaja 13 tahun di Simbirsk, Rusia ketika Marx meninggal dunia di London. Artinya dua orang itu tidak pernah bertemu dan duduk bersama membuat rancangan prinsip-prinsip apa pun. Lalu bagaimana caranya kedua -isme itu digabung dan dianggap sebagai kesatuan?

Marx dan Lenin memang tokoh dalam sejarah; mereka hidup pada saat dan tempat tertentu. Tapi fakta sederhana ini perlu diingat ketika kita bicara tentang gagasan mereka sebagai -isme. Keduanya adalah anak sekolah yang beranjak dewasa lalu sakit-sakitan dan menjadi tua. Mereka berulangkali berubah pikiran saat mendalami subyek tertentu dan berhadapan dengan dunia yang terus berubah. Mereka tidak selalu konsisten pada apa yang dikatakan sebelumnya. Dan tidak semua tulisan mereka disusun dengan jelas. Mereka meninggalkan sejumlah teks yang lebih menyerupai potongan daripada sebuah cerita utuh. Keduanya tidak pernah menulis pernyataan lugas dan tegas yang dengan mudah bisa ditafsirkan sebagai -isme seperti misalnya sepuluh perintah Allah. Marx pernah menulis kalimat yang kemudian terkenal kepada sejumlah pembaca yang mengklaim diri "Marxis", "yang saya tahu, saya bukanlah seorang Marxis".
Gagasan Marx diolah menjadi -isme setelah ia tiada. Tahun 1883 saat ia meninggal, ada gerakan radikal yang hidup di Eropa. Dalam perdebatan di antara orang-orang yang ingin mengubah masyarakat itu, ada yang merujuk tulisan-tulisan Marx sebagai sumber kebajikan. Marx memang intelektual yang luar biasa dan seringkali mengungguli argumen lawan-lawannya. Di tanah kelahirannya, Jerman, banyak pemimpin gerakan Sosial-Demokratik (seperti Edward Bernstein dan Karl Kautsky) adalah pembela apa yang mereka sendiri sebut sebagai Marxisme. Mereka boleh dibilang adalah pembela terpenting karena mewakili gerakan jutaan buruh dan memiliki sumberdaya yang mengesankan. Mereka melihat Marxisme sebagai analisis kapitalisme modern. Kautsky menyebutnya "doktrin ekonomi" dan memasang frasa itu dalam judul bukunya. Marxisme bagi mereka terutama adalah teori mengenai upah, profit dan harga.
Sementara itu Lenin muda, yang sangat dipengaruhi oleh diskusi Marxisme di Jerman ketika tinggal di Rusia, adalah salah satu aktivis radikal yang melihat gagasan Marx sebagai -isme. Tapi ia melangkah lebih jauh daripada penulis seperti Kautsky. Saat berusia 20-an dan 30-an tahun ia emnulis tentang Marxisme sebagai jalan memahami segala sesuatu. Ia menyebutnya: "pandangan dunia". Marxisme bagi Lenin bukan hanya cara memahami masyarakat kapitalis modern melainkan doktrin menyeluruh dengan yang dilengkapi prinsip-prinsip dasar untuk memahami keseluruhan sejarah umat manusia, proses hidup tanaman dan hewan, dan bentuk kehidupan di masa mendatang. Prinsip dasar Marxisme versinya atau kunci untuk memahami semua kenyataan di dunia, adalah materialisme dan dialektika. Lihat misalnya tulisan Marxisme dan Revisionisme yang terbit 1908. Saat merumuskan strategi gerakan ia menggunakan Marxisme seperti pentungan untuk menghajar aktivis radikal lain yang menjadi lawan debatnya. Karena itu dengan Marxisme versinya, ia bisa mengklaim tahu kebenaran absolut tentang dunia dan arah perjalanan sejarah.
Ketika partai Bolshevik yang dipimpin Lenin berhasil melancarkan revolusi melawan Tsar Rusia tahun 1917 dan menjadi partai berkuasa, orang pun menganggap Lenin memiliki strategi yang tepat. Dan kalau strateginya tepat, maka ia tentu punya prinsip-prinsip filsafat yang tepat pula untuk memandu strateginya. Keberhasilan gerakannya membuat teorinya mengenai Marxisme seakan tanpa cacat. Setelah 1917 kaum radikal menganggap Lenin sebagai penasfir gagasan Marx yang paling tepat. Lenin menjelaskan strateginya sebagai pembaruan dan adaptasi Marxisme secara kreatif. Terobosannya ada pada teori mengenai organisasi. Inti dari paradigma Lenin adalah membangun partai politik yang dapat merebut kekuasaan negara melalui insureksi di kota yang dilakukan oleh buruh industri.
Selama terlibat mengorganisir buruh Marx tidak pernah membentuk partai politik untuk merebut kekuasaan negara. Marx adalah motor penggerak yang membangun federasi serikat buruh internasional antara 1864 sampai 1872, yang dikenal dengan sebutan Internasionale Pertama. Federasi itu bukan sebuah badan terpusat dari atas ke bawah yang memberi perintah cabang-cabangnya untuk bertindak, melainkan kumpulan berbagai serikat (dari Prancis, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan lainnya) yang bertemu tiap tahun, memperdebatkan strategi dan memberi santunan bagi buruh yang mogok. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Amerika tahun 1871 Marx mengatakan pencapaian terbesar dari federasi itu adalah menghalangi buruh dari berbagai negeri dipakai untuk melawan satu sama lain: "Sebelumnya, pemogokan di satu negeri dipatahkan dengan mendatangkan buruh dari negeri lain. Internasionale hampir berhasil menghentikan itu. Organisasi ini menerima informasi rencana mogok, menyebarluaskan informasi itu kepada anggotanya, dan seketika menganggap tempat yang dilanda mogok sebagai daerah terlarang. Kaum majikan dengan begitu harus berhadapan sendiri dengan buruhnya. Dengan begini, pemogokan pembuat cerutu di Barcelona berhasil meraih kemenangan pada hari berikutnya." Internasionale Marx adalah organisasi serikat-serikat buruh, bukan himpunan partai politik.
Marx yakin bahwa buruh seharusnya mengambil kekuasaan negara tapi tidak punya blueprint universal untuk mencapai tujuan itu. Cara buruh mengambilalih kekuasaan akan berbeda dari satu negeri ke negeri lain. Ada banyak metode berbeda untuk meningkatkan kekuatan buruh: koperasi, serikat buruh, partai politik dan seterusnya. Ia berpikir bahwa di negeri tertentu seperti Inggris, di mana hak-hak sipil lebih diakui, buruh dapat merebut kekuasaan dengan aksi politik sipil. Dalam wawancara yang sama ia mengatakan, "Insureksi tidak masuk akal kalau agitasi damai lebih cepat dan pasti mendatangkan hasil."
Penekanan Lenin pada partai politik sebagai pelopor yang memimpin gerakan buruh untuk merebut kekuasaan negara melalui insureksi mungkin salah satu penafsiran yang balid terhadap gagasan Marx mengenai strategi. Tapi jelas bukan satu-satunya penafsiran yang valid. Masalahnya keberhasilan Revolusi Soviet membuat strategi Lenin seolah-olah satu-satunya penafsiran yang valid untuk semua negeri.
Seperti halnya berbagai penafsiran Marxisme dibakukan setelah kematian Marx, berbagai tafsir terhadap Leninisme juga dibakukan setelah Lenin wafat. Orang yang paling bertanggungjawab untuk membakukan versi resmi Leninisme adalah Josef Stalin, pemimpin Partai Komunis Uni Soviet yang bertangan besi. Sebelum kematiannya, Lenin mengingatkan pemimpin partai yang lain bahwa Stalin tidak boleh dibiarkan memimpin partai. Tapi Stalin akhirnya berhasil merebut kepemimpinan dalam pertarungan setelah kematian Lenin dan menciptakan kediktatoran. Lenin yang mengembangkan pikirannya sendiri tentang Marxisme, setidaknya masih setia pada pikiran Marx. Tapi Stalin menciptakan Leninisme yang sepenuhnya mengingkari Lenin (dan Marx).
Stalin menciptakan kultus individu Lenin yang sudah meninggal: patung-patung Lenin dididirikan di seluruh Uni Soviet, anak sekolah diajar untuk menyembahnya seperti tokoh superhuman tanpa cacat, dan sebuah mausoleum dibangun di Moskow, menjadi semacam tempat ziarah baru. Stalin mengatur agar jenazah Lenin dibalsem dan dengan begitu diabadikan seperti seorang firaun dari Mesir. Tafsir Stalin terhadap Lenin sebenarnya mencerminkan hal yang sama: membuat pikiran Lenin menjadi mumi yang tak bergerak. Saat jenazah Lenin tengah dibalsem, Stalin memberi kuliah di universitas yang kemudian diterbitkan 1924 dalam bentuk buku yang berjudul Dasar-Dasar Leninisme. Di bawah Stalin, Leninisme dan juga Marxisme, tidak lebih dari ideologi negara yang sakral. Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama resmi negara.
Salah satu ritual partai komunis di Uni Soviet adalah memasang potret Marx, Engels, Lenin dan Stalin dalam satu baris, seolah mereka adalah deretan orang suci, yang menghibahkan bendera revolusi buruh dari satu generasi ke yang lain. Potret-potret itu biasanya dipasang dalam pigura dan digantung di kantor-kantor partai. Gambar potret empat tokoh berukuran besar dipasang di lapangan kota dan stadion olahraga.
Saat memasuki usia senja, Karl Kautsky, merenungi pendewaan empat orang itu dan vulgarisasi pikiran Marx di Uni Soivet. Dalam Marxisme dan Bolshevisme yang terbit 1934 ia menulis, "tak ada yang lebih dikhawatirkan Marx daripada pendangkalan ajarannya menjadi sekte yang ketat… Apa yang akan dikatakannya seandainya masih hidup melihat sekelompok Marxis yang berhasil merebut kekuasaan negara malah membuat Marxisme menjadi agama negara, sebuah agama yang keyakinan dan tafsirnya diawasi oleh negara, sebuah agama yang tidak boleh ditafsirkan berbeda – salah sedikit mendapat ganjaran keras dari negara; sebuah Marxisme yang berkuasa dengan cara-cara sama seperti Inkuisisi Spanyol, dikobarkan dengan api dan pedang, menciptakan praktek ritual teatrikal seperti yang digambarkan oleh jenazah Lenin dibalut balsem?"


Membebaskan Marx dari Marxisme Soviet dan Anti-Marxisme
Uni Soviet di bawah Stalin dan penerusnya, begitu memuja Marx sampai-sampai justru melecehkannya. Marx, pelarian berjenggot asal Jerman yang hidup miskin di London akhirnya dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kediktatoran Stalin yang mengerikan dan terjadi di sebelah timur Eropa 50 tahun setelah kematiannya. Orang anti-komunis mengatakan gagasan Marx adalah akar totalitarianisme Stalin. Beberapa di antaranya malah secara absurd mengatakan bahwa akarnya dapat ditelusuri lebih jauh kepada mereka yang mempengaruhi Marx, seperti Hegel dan Rousseau. Mereka menilai Marx berdasarkan apa yang terjadi di Uni Soviet. Karena itu Marxisme dianggap runtuh seiring ambruknya Uni Soviet tahun 1990, seolah-olah nasib analisis Marx tentang kapitalisme sepenuhnya bergantung pada keberadaan Uni Soviet.

Literatur tentang Marxisme yang diterbitkan negara Soviet juga mengacaukan persepsi kita tentang Marx. Terbitan-terbitan itu cenderung mereduksi gagasan Marx menjadi perangkat prinsip yang kebal kritik: materialisme historis dan materialisme dialektik adalah prinsip yang paling terkenal, seperti dikatakan Herbert Marcuse dalam Marxisme Soviet: Sebuah Kritik.
Marx sendiri tidak pernah membuat apalagi menganut prinsip-prinsip yang dalam kepustakaan Soviet disebut berasal darinya. Menurut versi standar Soviet tentang materialisme historis, Marx digambarkan sebagai orang yang percaya bahwa perubahan dalam teknologi akan menghasilkan perubahan dalam pengorganisasian produksi ekonomi yang nantinya akan menghasilkan perubahan dalam kebudayaan. Ini adalah pandangan teori sejarah "determinsime teknologi", karena menganggap teknologi sebagai penyebab dasar semua perubahan sosial. Marx sendiri tahun 1881 menulis surat-surat kepada "Marxis" Rusia yang mengatakan teori "determinisme teknologi" ini adalah miliknya. Marx membalas bahwa ia tidak pernah bermaksud merumuskan "teori lintas-sejarah" yang valid untuk sejarah umat manusia.
Untuk memahami pikiran Marx, orang perlu membaca teks-teksnya dan memahaminya dalam konteks sejarah, membebaskannya dari interpretasi mereka yang menyebut dirinya Marxis. Pikiran Marx seharusnya dilihat lepas dari pikiran orang lain, termasuk sahabatnya yang sering menulis bersama, Friedrich Engels. Berbeda dari anggapan tradisi Marxis yang berkembang kemudian, kedua orang ini tidak bisa dianggap sebagai kembar siam secara ideologi. Dalam beberapa hal, tulisan Engels justru menjadi awal dari vulgarisasi pikiran-pikiran Marx. Ia misalnya menulis tentang dialektika sebagai prinsip a priori untuk memahami semua gejala alam. Prinsip yang sama sekali tidak ada dalam tulisan Marx. Karena Engels hidup lebih lama, sampai 1894, ia giat terlibat dalam politik radikal di Eropa dan banyak Marxis, termasuk Lenin, memahami Marx berdasarkan tafsiran Engels.
Marx bukan orang suci atau setan. Ia seorang intelektual cemerlang yang coba memahami dunia sekelilingnya. Argumennya tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritik, tapi sebaliknya tidak bisa dikritik tanpa terlebih dulu menggeluti teks-teksnya secara teliti. Pikiran Marx dalam hal ini sama pentingnya bagi zaman modern seperti halnya Kant, Hegel, Darwin, Freud dan Weber.
Sering dikatakan bahwa ilmu sosial Barat adalah dialog berkepanjangan dengan Marx. Dialog ini biasanya tidak adil terhadap Marx. Jika di Indonesia setelah 1965 kaum intelektual menyetujui pemberangusan pikiran Marx, di Barat intelektual membiarkan Marx bicara tapi tidak mau mendengarkannya. Buku-bukunya bisa didapat dengan bebas dan dipakai dalam kuliah di universitas. Teks-teks Marx bukan hanya sulit dibaca tapi juga dikelilingi rerimbunan argumen anti-Marxis. Banyak intelektual yang sepertinya merasa wajib menciptakan alasan tertentu untuk mendiskreditkan dirinya. Dengan adanya sentimen anti-Marxis ini, tentu mudah menganggap Marx sebagai idiot atau sebagai pemberontak yang bernapsu jahat tanpa berusaha mendengarnya terlebih dulu.
Dalam hitungan saya sekurangnya ada delapan kritik terhadap Marx yang biasa dipakai. Ia dituduh, (1) terlalu materialistik dan tidak memberi perhatian pada ideologi dan kebudayaan, (2) seorang pemikir dari abad ke-19 yang tidak relevan lagi dalam abad ke-20 atau ke-21 ini, (3) seorang pemikir Eropa yang tidak relevan bagi wilayah lain di luar Eropa, (4) seorang chauvinist yang mendukung kolonialisme, (5) menerapkan pandangan "teleologis" dalam sejarah – artinya menganggap masyarakat manusia menuju arah tertentu, yakni sosialisme, (6) hanya memperhatikan penindasan kelas dan tidak memahami jenis-jenis penindasan lain seperti misalnya, ras dan jender, (7) menentang demokrasi karena mendukung gagasan "kediktatoran proleratiat" dan (8) seorang ateis yang menganggap agama sebagai "candu bagi rakyat".
Saya pikir tak satu pun kritik itu akan berlaku setelah kita membaca karya Marx dengan hati-hati. Kritik-kritik itu biasanya salah sama sekali dan harus ditolak, atau tidak terlalu tepat sehingga harus dirumuskan lagi. Misalnya mengenai butir terakhir. Ia tidak melihat agama semata-mata sebagai siasat kelas penguasa untuk menipu kelas-kelas bawah dan menghalangi mereka memahami realitas penindasan (karena itu disebut "candu bagi rakyat"). Ia juga menyebut agama sebagai "hati dalam dunia tanpa nurani" dan "keluh duka kaum tertindas". Ia paham bahwa buruh berpaling pada lembaga agama untuk mencari dukungan emosional dan bantuan ekonomi saat mereka berjuang bertahan hidup dalam ketidakpedulian terhadap nasib mereka. Dalam hal ini Marx sama ateisnya dengan kaum borjuis di zamannya. Seperti banyak orang lain di zaman itu, ia menganggap berkembangnya ilmu dan keamanan ekonomi membuat orang tidak lagi melihat perlunya agama. Jadi, ia tak pernah menyerang agama atau mengobarkan pelarangan terhadap agama. Tentu saja ada alasan untuk bersikap kritis terhadap Marx. Anjuran saya, sebaiknya kita mempelajarinya sungguh-sungguh sebelum mengkritik.
Sungguh ironis bahwa politisi Indonesia memilih mempertahankan pelarangan terhadap tulisan Marx setelah krisis ekonomi Asia 1997. Padahal Marx dengan piawai menggambarkan naik turunnya siklus kapitalisme yang dahsyat: "Revolusi terus menerus dalam produksi, kacaunya kondisi sosial tanpa henti, ketidakpastian dan kegelisahan yang berurat-akar membedakan era borjuis dari yang ada sebelumnya. Semua hubungan yang pasti dan membeku, berikut gelombang prasangka dan pendapat yang kuno lagi suci, disapu habis, segala yang baru terbentuk menjadi usang sebelum sempat mengental. Segala yang padat menguap dalam udara". Bukankah kalimat dari 1848 ini dengan tepat menggambarkan keadaan Indonesia sekarang, ketika semua yang kita anggap padat ternyata menguap dalam udara?
Krisis ekonomi mengungkap bahwa kemakmuran dan keamanan Orde Baru sebenarnya ilusi saja – semuanya menguap dalam udara. Bukankah kapitalisme, sistem yang hanya dapat bertahan dengan pertumbuhan dan pasar tanpa kontrol, senantiasa menghasilkan perubahan dan instabilitas? Bukankah tujuan Marx sesungguhnya adalah mengakhiri perubahan dahsyat dan revolusi yang dihasilkan kapitalisme itu? Anggota MPR bisa saja melarang tulisan Marx karena dianggap "revolusioner", tapi apa yang mereka lakukan untuk mencegah revolusi-revolusi kapitalisme, seperti revolusi yang menghantam Indonesia tahun 1997 dan berakibat jutaan orang menjadi penganggur dan terhempas ke kemiskinan absolut?


>>>Untuk membaca karya-karya Marx, Engels, Kautsky, Lenin dan Marxis lainnya kita dapat melihat arsip Internet yang tidak berhasil disensor pemerintah Indonesia di www.marxists.org



JOHN ROOSA, sejarawan yang bekerja di Universitas California, Berkeley, AS.

Penulis Buku "pretext for Mass Murder" (Dalih Pembunuhan Massal) > dicekal Pemerintah

Kamis, 02 Agustus 2012

Komersialisasi Berita

Strategi bisnis semakin hari semakin kaya akan strategi. demi mendapatkan keuntungan yang banyak, strategi-strategi baru di luncurkan unruk menguji keampuhannya. Bahkan dengan menambahkan sedikit improvisasi dalam bidang bisnis tersebut merupakan salah satu bentuk strategi. Begitu lah juga yang terjadi di dunia bisnis Berita elektronik maupun cetak.

Postingan kali ini merupakan kegelian tersendiri bagi saya setelah menyimak beberapa Perusahaan penyedia berita elektronik maupun cetak. Jika anda pernah memberikan perhatian khusus terhadap berita yang disajikan, kadang bahkan acap kali berita yang di bahas terkesan di improvisasi. apalagi tujuannya kalau bukan mendapatkan rating penonton atau pembaca yang tinggi.

Sebagai contoh, media elekronik. Kadang saya resah dengan beberapa berita yang dimuat. Pada headlinenya dibuat sedramatis mungkin agar pemirsa tertarik. seperti saah satu headline berita pada salah satu tv swasta menuliskan "Mabes Polri di grebek KPK". Padahal KPK hanya memeriksa Mabes Polri untuk menemukan bukti dugaan korupsi. menggrebek pastinya memiliki makna konotasi dibandingkan dengan memeriksa. Mabes seakan-akan disamakan dengan tempat pelacuran atau gembong teroris.

Selain Improvisasi pada headlinenya, kadang kita juga tidak dapat membedakan antara berita dengan gosip. Acara Berita lebih smirip dengan infotaiment. Selalu menyajikan isu-isu yang belum jelas dan menimbulkan pertanyaan kepada pemirsanya.

dan hasil dari itu semua adalah rating yang semakin menjulang sehingga pemasang iklan juga membludak. Sungguh strategi Pasar yang mutakhir. tidak heran stasiun Tv dan Koran-koran dipenuhi dengan iklan-iklan. Namun tidak semua yang media yang memanfaatkan atau mengkomesialisasikan berita dengan diberikan make-up yang mencolok. masih ada juga media yang menyajikan berita yang faktual. Semoga dunia pemberitaan kita tidak mengkiblatkan pada keuntungan semata. Tapi juga menyajikan kualiatas berita yang tidak "ecek-ecek".

Dragon City Facebook

ini merupakan posting perdana bertopik Game.

Pernahkah anda menghitung jumlah game yang ada di facebook? saya belum. Jika anda tahu, tolong beri tahu. Tapi di posting kali ini, saya tidak akan berusaha menguraikan berapa jumlah game di Facebook. tapi saya akan menceritakan pengalaman saya bermain salah satu game di social network terbesar ini.

Dragon city, merupakan game online dari perusahaan game online social poin dan dapat dinikmati oleh pengguna facebook. Game ini menurut saya ber gendre adventure tapi ada yang bilang bilder dan figher (adventure kan juga begitu). Karena di game ini pemain diajak untuk mengelolah semacam kerajaan naga dengan beberapa elemen. Setiap naga memiliki elemen tertentu seperti air, tanah, api, petir dan sebagainya. mulai dari membeli naga dengan gold, memberinya makan, membangunkan habitatnya hingga bertempur dengan naga dari kerajaan lainnya.

game ini juga menyediakan bagi pemain yang memiliki kantong berat. dengan membeli gems (mata uang di DC) pemain akan diberikan kemudahan dalam mengembangkan kerajaannya. tapi bagi yang tak punya kantong tidak usah khawatir. Geme ini cukup asik tanpa membeli gems dan kita juga berkesempatan untuk mendapatkan gems dengan mengerjakan misi yang ada pada geme ini. untuk lebih asiknya silahkan lihat TKP-nya.