sumber gambar: http://www.posmetro-medan.com/?p=1640 |
Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto
KITA memang hidup di alam
simbolis. Kehidupan sehari-hari dunia modern ini, dikepung oleh takhayul simbol
yang memanifestasi dalam bahasa periklanan di televisi (teve), di billboard
pinggir jalan, di media cetak, di radio, dan di media-media lainnya.
Dalam situasi
seperti itulah, masyarakat modern dibentuk, termasuk bagaimana mereka kemudian
memosisikan diri dalam konstruksi sosial yang ada. Dalam kondisi itu pula,
manusia modern memproyeksikan kebahagiaan, kegembiraan, kepuasaan, posisi,
identitas diri, dan sebagainya.
Simbol adalah
"bahasa kepercayaan''. Dalam bahasa Gustav Jung, kita menggunakan
terminologi simbolik untuk merepresentasikan konsep yang tidak sepenuhnya kita
kuasai. Pada dataran simbolis itulah, dunia perdagangan sehari-hari
memanipulasi image, menciptakan ilusi yang secara sadar atau tidak kita
telah melakukan tindakan berdasarkan pencitraan simbol-simbol tersebut.
Pertanyaannya,
bagaimanakah simbol-simbol -terutama dalam dunia periklanan- dapat memersuasi
masyarakat? Apakah kondisi masyarakat memang sudah demikian rentan, tidak mampu
berpikir kritis, sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi oleh iklan-iklan
tersebut?
Konstruksi
Realitas
Risiko adalah ciri
yang melekat pada segala aktivitas masyarakat global; dan tidak datang dari
alam untuk manusia, tetapi merupakan akibat dari perbuatan manusia (manufactured
risk).
Konsep risiko tidak
ditemukan pada masyarakat yang berpikir fatalistik (segala sesuatu diterima
sebagai kodrat ilahi), seperti masyarakat pada abad pertengahan.
Adapun masyarakat
risiko (risk society), tak lain merupakan kondisi masyarakat modern yang
-mau tidak mau- harus berada dalam masyarakat yang terbuka (open society).
Kondisi masyarakat risiko, tercermin dalam kehidupan masyarakat modern, yang
hidup dalam paradoks dan kontradiksi; paradoks antara kemajuan dan pengorbanan,
antara untung dan rugi.
Situasi demikian,
oleh Giddens disebut sebagai "modernitas kedua'', yang merupakan suatu
periode peralihan masyarakat; dan peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan.
Dalam periode itu,
tatanan lama dirobohkan, tapi belum juga dibangun dan diganti dengan yang baru
(Sindhunata, Menuju Masyarakat Resiko, Basis: 2000).
Masyarakat risiko yang
mengalami anomali karena kehilangan pegangan nilai dan tradisi itulah, yang
sangat potensial disusupi nilai, ideologi global di dunia yang sudah tanpa
batas (boderless).
Realitas masyarakat
risiko yang rentan, terlihat jelas jika dihubungkan dengan kapitalisme
mutakhir, yang telah menjadi fenomena kontemporer karena mampu mencengkeram
hampir tiap lini kehidupan masyarakat lewat bisnis Trans Nasional
Corporative (TNC's).
TNS's banyak
memanfaatkan realitas "ruang kosong'' masyarakat yang telah kehilangan pegangan
dan identitas, untuk kepentingan industri berskala internasionalnya. Ruang
kosong yang berisi imajinasi, ilusi, fantasi, halusinasi, diproduksi secara
simbolis melalui ruang-ruang pencitraan dalam dunia iklan.
Dalam iklan,
terjadi produksi realitas menjadi realitas semu (maya) lewat produksi tanda
atau citra. Berkaitan dengan itu, Baudrillard mengungkapkan empat fase
perkembangan citra, yaitu citra sebagai refleksi realitas, citra menyembunyikan
absennya realitas, citra menyembunyikan dan menyimpangkan realitas, dan citra
yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun (simulacrum
murni). Simulacrum adalah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat
kontemporer akan tanda (Yasraf Amir Piliang, Hiperealitas Kebudayaan,
LKiS: 1999).
Melalui kancah reproduksi
simbol (citra) itu, relasi individu dengan konstruksi sosial dibentuk oleh
jalinan konsumerisme sehari-hari. Iklan memersuasi masyarakat kontemporer
(konsumer) untuk bergaya hidup tertentu dan mengonsumsi produk tertentu; bahkan
juga membebani konsumen dengan proyeksi atas identitas, kepuasan, rasa
diterima, kegembiraan, kebahagiaan, dan prestise sosial. Semua itu, adalah
hasil manipulasi simbolis dunia periklanan. Kini, masyarakat tidak mampu lagi
membedakan antara realitas nyata dan realita buatan (hiper-realitas)
media.
Kesadaran
masyarakat modern dan posisinya dalam kontruksi sosial yang ada (bagaimana
masyarakat kontemporer diorganisasikan), ditentukan oleh iklan. Massifikasi
simbol melalui iklan, telah mempercepat terjadinya internalisasi kebudayaan
(bahkan kooptasi kultural). Salah satu contoh, Coca-cola sebagai produk minuman
yang tidak indegenious (tidak mempunyai muatan lokal) mampu mencetak
angka penjualan tertinggi di Indonesia. Kesuksesan itu, merupakan hasil
strategi periklanan yang mampu menciptakan pertautan emosional antara objek
dengan konsumen lewat pencitraan.
Nalar Kritis
Bagi masyarakat
saat ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis
melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian
objek-objek konsumsi. Yang dicari dalam berkomunikasi bukan lagi pesan-pesan
dan inforasi, melainkan kegairah dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain
dengan tanda, citraan dan medianya.
Konsumsi lebih
dilandasi oleh nilai, tanda dan citraan, ketimbang nilai utilitas. Sementara
logika yang mendasarinya, bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan
logika hasrat (desire). Apa yang diproduksi pasar, tak lebih dari
sekadar pemenuhan kebutuhan palsu, kebutuhan yang diciptakan oleh para
produsen.
Adorno, salah
seorang tokoh mahzab Frankfurt, melihat hal itu sebagai salah satu bentuk
penipuan massa (mass deception); ia menciptakan kebutuhan yang
sebetulnya tidak dibutuhkan secara hakiki (Piliang: 1999).
Konsumerisme
berlebihan (conspious consumption) sudah menjadi bagian kehidupan
sehari-hari, dan tidak hanya dilakukan para selebritis, kaum jet-set,
remaja menengah perkotaan saja. Lebih parah lagi, belanja gaya hidup (life
style shopping), sudah menjalar pada seluruh lapisan masyarakat, menjadi
sebuah realitas yang tak terelakkan (taken for granted).
Deskripsi hidup
manusia modern yang dikepung bahasa simbolis periklanan, layak mendapat
perhatian. Iklan membuat manusia modern kehilangan daya kritis dan
emansipatoris terhadap bagaimana beroperasinya simbol-simbol yang menjadi
"bahasa kepercayaan'' itu.
Pada akhirnya,
mereka teralienasi oleh ruang pencitraan dan terkepung rasionalitas instrumen;
yakni mereka hanya tahu bertindak rasional, tapi tidak mampu memahami substansi
dan tujuan tindakan tersebut.
Budaya masyarakat
post-industri (konsumerisme) yang irasional dan menghegemoni kesadaran
"massa'', perlu untuk dikritisi. Ada berbagai media untuk membuat counter
balik, dan menumbuhkan sikap emansipatoris masyarakat.
Di antaranya studi
kebudayaan kontemporer, yang berusaha menyingkap berbagai hal dalam proses
produksi, reproduksi, distribusi, sampai ke proses identifikasi melalui simbol
yang dimanfaatkan untuk mencari ruang-ruang tempat kreativitas individu masih
bisa bermain.
Usaha advokasi,
baik oleh institusi formal seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
maupun institusi informal semacam media watch, sangat baik untuk
mendidik masyarakat agar bersikap kritis dan melindungi hak-haknya sebagai
konsumen.
Tak kalah
pentingnya adalah, memanfaatkan jalur periklanan itu sendiri seperti teve,
media cetak, dan radio untuk menyadarkan masyarakat.
Salah satunya,
dengan penyelenggaraan program televisi yang menguak seluk-beluk dunia
periklanan. "Apa di balik iklan'', baik segi positif maupun negatifnya,
dikupas secara proporsional untuk mendidik masyarakat. Hal itu juga dalam
rangka mengembalikan fungsi fundamental media massa sebagai media public
education, lewat program-programnya yang informatif dan educatif.
Jika konsumen telah
terbangun dari posisinya sebagai "massa yang diam'' (silence mass),
maka proses kreatif dan inovatif mereka akan muncul dengan sendirinya. Mereka
akan mulai berusaha lepas dari cengkeraman kapitalisme global, yang selama ini
mengkonstruknya.
Konsumen yang
aktif, kritis, dan emansipatoris, akan memiliki bargaining position di
era global. Mereka tidak sekadar menjadi objek, tapi juga subjek.
Dengan demikian,
kerentanan masyarakat risiko yang mudah terindoktrinasi nilai dan ideologi
global dapat dieliminasi, bahkan dapat dihapus. (41)
disclaimer:
Artikel ini milik Endriani DS. Apabila ybs merasa keberatan, silahkan tinggalkan komentar, agar pengelolah blog ini menghapus post ini. terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No: SPAM, SARA, dan sejenisnya
Yes: Kritik, Saran, Pendapat, Komentar, Balasan, dan semua yang bersifat baik