Rabu, 08 Agustus 2012

Manipulasi Simbolis Dunia Periklanan

sumber gambar:  http://www.posmetro-medan.com/?p=1640
Oleh : Endriani DS 
Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto
KITA memang hidup di alam simbolis. Kehidupan sehari-hari dunia modern ini, dikepung oleh takhayul simbol yang memanifestasi dalam bahasa periklanan di televisi (teve), di billboard pinggir jalan, di media cetak, di radio, dan di media-media lainnya.
Dalam situasi seperti itulah, masyarakat modern dibentuk, termasuk bagaimana mereka kemudian memosisikan diri dalam konstruksi sosial yang ada. Dalam kondisi itu pula, manusia modern memproyeksikan kebahagiaan, kegembiraan, kepuasaan, posisi, identitas diri, dan sebagainya.
Simbol adalah "bahasa kepercayaan''. Dalam bahasa Gustav Jung, kita menggunakan terminologi simbolik untuk merepresentasikan konsep yang tidak sepenuhnya kita kuasai. Pada dataran simbolis itulah, dunia perdagangan sehari-hari memanipulasi image, menciptakan ilusi yang secara sadar atau tidak kita telah melakukan tindakan berdasarkan pencitraan simbol-simbol tersebut.
Pertanyaannya, bagaimanakah simbol-simbol -terutama dalam dunia periklanan- dapat memersuasi masyarakat? Apakah kondisi masyarakat memang sudah demikian rentan, tidak mampu berpikir kritis, sehingga dapat dengan mudah dipengaruhi oleh iklan-iklan tersebut?
Konstruksi Realitas
Risiko adalah ciri yang melekat pada segala aktivitas masyarakat global; dan tidak datang dari alam untuk manusia, tetapi merupakan akibat dari perbuatan manusia (manufactured risk).
Konsep risiko tidak ditemukan pada masyarakat yang berpikir fatalistik (segala sesuatu diterima sebagai kodrat ilahi), seperti masyarakat pada abad pertengahan.
Adapun masyarakat risiko (risk society), tak lain merupakan kondisi masyarakat modern yang -mau tidak mau- harus berada dalam masyarakat yang terbuka (open society). Kondisi masyarakat risiko, tercermin dalam kehidupan masyarakat modern, yang hidup dalam paradoks dan kontradiksi; paradoks antara kemajuan dan pengorbanan, antara untung dan rugi.
Situasi demikian, oleh Giddens disebut sebagai "modernitas kedua'', yang merupakan suatu periode peralihan masyarakat; dan peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan.
Dalam periode itu, tatanan lama dirobohkan, tapi belum juga dibangun dan diganti dengan yang baru (Sindhunata, Menuju Masyarakat Resiko, Basis: 2000).
Masyarakat risiko yang mengalami anomali karena kehilangan pegangan nilai dan tradisi itulah, yang sangat potensial disusupi nilai, ideologi global di dunia yang sudah tanpa batas (boderless).
Realitas masyarakat risiko yang rentan, terlihat jelas jika dihubungkan dengan kapitalisme mutakhir, yang telah menjadi fenomena kontemporer karena mampu mencengkeram hampir tiap lini kehidupan masyarakat lewat bisnis Trans Nasional Corporative (TNC's).
TNS's banyak memanfaatkan realitas "ruang kosong'' masyarakat yang telah kehilangan pegangan dan identitas, untuk kepentingan industri berskala internasionalnya. Ruang kosong yang berisi imajinasi, ilusi, fantasi, halusinasi, diproduksi secara simbolis melalui ruang-ruang pencitraan dalam dunia iklan.
Dalam iklan, terjadi produksi realitas menjadi realitas semu (maya) lewat produksi tanda atau citra. Berkaitan dengan itu, Baudrillard mengungkapkan empat fase perkembangan citra, yaitu citra sebagai refleksi realitas, citra menyembunyikan absennya realitas, citra menyembunyikan dan menyimpangkan realitas, dan citra yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun (simulacrum murni). Simulacrum adalah cara pemenuhan kebutuhan masyarakat kontemporer akan tanda (Yasraf Amir Piliang, Hiperealitas Kebudayaan, LKiS: 1999).
Melalui kancah reproduksi simbol (citra) itu, relasi individu dengan konstruksi sosial dibentuk oleh jalinan konsumerisme sehari-hari. Iklan memersuasi masyarakat kontemporer (konsumer) untuk bergaya hidup tertentu dan mengonsumsi produk tertentu; bahkan juga membebani konsumen dengan proyeksi atas identitas, kepuasan, rasa diterima, kegembiraan, kebahagiaan, dan prestise sosial. Semua itu, adalah hasil manipulasi simbolis dunia periklanan. Kini, masyarakat tidak mampu lagi membedakan antara realitas nyata dan realita buatan (hiper-realitas) media.
Kesadaran masyarakat modern dan posisinya dalam kontruksi sosial yang ada (bagaimana masyarakat kontemporer diorganisasikan), ditentukan oleh iklan. Massifikasi simbol melalui iklan, telah mempercepat terjadinya internalisasi kebudayaan (bahkan kooptasi kultural). Salah satu contoh, Coca-cola sebagai produk minuman yang tidak indegenious (tidak mempunyai muatan lokal) mampu mencetak angka penjualan tertinggi di Indonesia. Kesuksesan itu, merupakan hasil strategi periklanan yang mampu menciptakan pertautan emosional antara objek dengan konsumen lewat pencitraan.
Nalar Kritis
Bagi masyarakat saat ini, apa yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-objek konsumsi. Yang dicari dalam berkomunikasi bukan lagi pesan-pesan dan inforasi, melainkan kegairah dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain dengan tanda, citraan dan medianya.
Konsumsi lebih dilandasi oleh nilai, tanda dan citraan, ketimbang nilai utilitas. Sementara logika yang mendasarinya, bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Apa yang diproduksi pasar, tak lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan palsu, kebutuhan yang diciptakan oleh para produsen.
Adorno, salah seorang tokoh mahzab Frankfurt, melihat hal itu sebagai salah satu bentuk penipuan massa (mass deception); ia menciptakan kebutuhan yang sebetulnya tidak dibutuhkan secara hakiki (Piliang: 1999).
Konsumerisme berlebihan (conspious consumption) sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya dilakukan para selebritis, kaum jet-set, remaja menengah perkotaan saja. Lebih parah lagi, belanja gaya hidup (life style shopping), sudah menjalar pada seluruh lapisan masyarakat, menjadi sebuah realitas yang tak terelakkan (taken for granted).
Deskripsi hidup manusia modern yang dikepung bahasa simbolis periklanan, layak mendapat perhatian. Iklan membuat manusia modern kehilangan daya kritis dan emansipatoris terhadap bagaimana beroperasinya simbol-simbol yang menjadi "bahasa kepercayaan'' itu.
Pada akhirnya, mereka teralienasi oleh ruang pencitraan dan terkepung rasionalitas instrumen; yakni mereka hanya tahu bertindak rasional, tapi tidak mampu memahami substansi dan tujuan tindakan tersebut.
Budaya masyarakat post-industri (konsumerisme) yang irasional dan menghegemoni kesadaran "massa'', perlu untuk dikritisi. Ada berbagai media untuk membuat counter balik, dan menumbuhkan sikap emansipatoris masyarakat.
Di antaranya studi kebudayaan kontemporer, yang berusaha menyingkap berbagai hal dalam proses produksi, reproduksi, distribusi, sampai ke proses identifikasi melalui simbol yang dimanfaatkan untuk mencari ruang-ruang tempat kreativitas individu masih bisa bermain.
Usaha advokasi, baik oleh institusi formal seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) maupun institusi informal semacam media watch, sangat baik untuk mendidik masyarakat agar bersikap kritis dan melindungi hak-haknya sebagai konsumen.
Tak kalah pentingnya adalah, memanfaatkan jalur periklanan itu sendiri seperti teve, media cetak, dan radio untuk menyadarkan masyarakat.
Salah satunya, dengan penyelenggaraan program televisi yang menguak seluk-beluk dunia periklanan. "Apa di balik iklan'', baik segi positif maupun negatifnya, dikupas secara proporsional untuk mendidik masyarakat. Hal itu juga dalam rangka mengembalikan fungsi fundamental media massa sebagai media public education, lewat program-programnya yang informatif dan educatif.
Jika konsumen telah terbangun dari posisinya sebagai "massa yang diam'' (silence mass), maka proses kreatif dan inovatif mereka akan muncul dengan sendirinya. Mereka akan mulai berusaha lepas dari cengkeraman kapitalisme global, yang selama ini mengkonstruknya.
Konsumen yang aktif, kritis, dan emansipatoris, akan memiliki bargaining position di era global. Mereka tidak sekadar menjadi objek, tapi juga subjek.
Dengan demikian, kerentanan masyarakat risiko yang mudah terindoktrinasi nilai dan ideologi global dapat dieliminasi, bahkan dapat dihapus. (41)

disclaimer:  
Artikel ini milik Endriani DS. Apabila ybs merasa keberatan, silahkan tinggalkan komentar, agar pengelolah blog ini menghapus post ini. terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No: SPAM, SARA, dan sejenisnya
Yes: Kritik, Saran, Pendapat, Komentar, Balasan, dan semua yang bersifat baik