Rabu, 08 Agustus 2012

Manusia Marx, John Roosa


Saat memutuskan untuk mempertahankan larangan terhadap Marxisme-Leninisme awal 2000, anggota MPR sebenarnya terbenam dalam kontradiksi logis. Kalau mau melarang sesuatu seseorang harus bisa mengidentifikasi, mendefinisikan dan tahu apa yang mau dilarang. Sementara untuk tahu apa yang dimaksud Marxisme-Leninisme orang harus membaca buku-buku yang dilarang oleh MPR. Pejabat pemerintah yang mau menegakkan aturan itu harus melanggarnya lebih dulu: mereka harus mempelajari apa yang akan mereka sensor. MPR menetapkan aturan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah dan tidak mungkin ditaati masyarakat pula. Negara mencap Marxisme-Leninisme sebagai sesuatu yang jahat tapi tidak mampu, tanpa melanggar hukumnya sendiri, merumuskan apa sesuatu itu: apakah sesuatu itu ideologi? Pendekatan filsafat? Metodologi ilmu sosial? Cara berpikir? Atau setan dari neraka yang bangkit tiap malam Jumat?
Karena hanya disuruh membenci tanpa pernah tahu apa yang dibenci, maka lahirlah pandangan irasional tentang Marxisme-Leninisme di Indonesia. Marxisme-Leninisme menjadi hantu yang keberadaannya harus dipercaya semua orang tapi tanpa seorang pun dapat menunjukkan wujudnya. Karena orang tidak bisa mengidentifikasi hantu itu, mereka cenderung percaya bahwa pejabat negaralah yang tahu caranya. Kabarnya beberapa pejabat tinggi, seperti para pengajar di Lemhanas, membaca buku-buku Marx dan Lenin dan memahami seluruh isinya (Artinya setiap orang yang diindoktrinasi oleh Orde Baru harus mencurigai para pejabat ini sebagai Marxis-Leninis). Jika negara memproklamirkan hantu Marxisme-Leninisme itu telah "menyusup" ke partai-partai politik, organisasi hak asasi manusia, serikat buruh, maka semestinya kita setuju bahwa negara lebih tahu soal itu dari kita. Walau partai atau organisasi yang kita lihat sebenarnya biasa saja, pejabat negara ternyata tahu wujud setan bertopeng itu. Mereka tahu cara melihat hantu; rupanya ada alat optik khusus yang membuat mereka bisa melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita. Kita tidak boleh bikin penilaian sendiri tentang baik-buruknya pemikiran atau organisasi tertentu; kita harus percaya para pejabat karena mereka lebih tahu dari kita. Mereka tahu semua bahaya laten di atas maupun bawah tanah. Para politisi pasca-Soeharto, yang menyetujui pelarangan Marxisme-Leninisme, rupanya tetap percaya bahwa orang Indonesia belum cukup umur untuk berpikir sendiri. Massa mengambang terus saja mengambang.
Sebenarnya sejak 1966 para pejabat negara itulah yang mengambang dalam ketidaktahuan. Mereka mendapat tugas melarang sesuatu yang tidak mereka pahami, sehingga mahasiswa Indonesia dengan bebas membaca karya Antonio Gramsci karena para pejabat tidak tahu bahwa ia seorang Marxis. Tapi di sisi lain ada tukang bakso miskin yang menulis "PKI Madiun Bangkit" di dinding rumahnya tahun 1995, dan langsung diseret ke kantor polisi dan diinterogasi karena dianggap pimpinan PKI bawah tanah yang baru. Pejabat negara terus menengarai kehadiran PKI dalam gambar di sampul kaset, cincin dan kaos oblong. Di Jawa Tengah, bahkan merek baju Hammer (Palu) dan jeans Tira (kalau dibalik, Arit) dicurigai sebagai "cara-cara komunis menyampaikan pesan".
Tentu saja kebanyakan orang Indonesia, berhadapan dengan negara yang terus bicara tentang Marxisme-Leninisme sebagai hantu jahat tanpa pernah menjelaskannya, ingin tahu apa sesungguhnya mahluk misterius itu. Atmosfir irasional, yang mirip dengan penggeropyokan dukun santet, tidak memungkinkan kita melihat soal yang sangat mendasar: kita sebenarnya tidak mungkin mendefinisikan Marxisme-Leninisme. Pelarangan sesuatu secara hukum bertolak dari anggapan bahwa sesuatu itu dapat didefinisikan. Tapi di sini hukum melarang sesuatu yang tidak pernah disepakati definisinya. Tak seorang pun dengan pasti bisa menyatakan apa sesungguhnya Marxisme-Leninisme itu. Perbedaan pendapat yang paling hebat justru terjadi di antara mereka yang menganggap diri sebagai pengibar bendera Marxisme-Leninisme. Perbedaan itu bukan semata soal istilah atau kata yang ditafsir berbeda tapi ada interpretasi yang bertentangan dan tidak dapat didamaikan.


Terjadinya Isme-Isme
Mari kita mulai dari istilahnya yang terdiri atas nama belakang dua orang, Marx dan Lenin, yang digabungkan dengan tanda hubung lalu diberi imbuhan -isme untuk menjadikannya sejenis doktrin. Analisis linguistik sederhana itu membawa pertanyaan: bagaimana hidup dan karya seorang Jerman (1818-1883) dan seorang Rusia (1870-1924) itu bisa menjadi -isme? Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin tidak pernah bertemu semasa hidup. Lenin adalah remaja 13 tahun di Simbirsk, Rusia ketika Marx meninggal dunia di London. Artinya dua orang itu tidak pernah bertemu dan duduk bersama membuat rancangan prinsip-prinsip apa pun. Lalu bagaimana caranya kedua -isme itu digabung dan dianggap sebagai kesatuan?

Marx dan Lenin memang tokoh dalam sejarah; mereka hidup pada saat dan tempat tertentu. Tapi fakta sederhana ini perlu diingat ketika kita bicara tentang gagasan mereka sebagai -isme. Keduanya adalah anak sekolah yang beranjak dewasa lalu sakit-sakitan dan menjadi tua. Mereka berulangkali berubah pikiran saat mendalami subyek tertentu dan berhadapan dengan dunia yang terus berubah. Mereka tidak selalu konsisten pada apa yang dikatakan sebelumnya. Dan tidak semua tulisan mereka disusun dengan jelas. Mereka meninggalkan sejumlah teks yang lebih menyerupai potongan daripada sebuah cerita utuh. Keduanya tidak pernah menulis pernyataan lugas dan tegas yang dengan mudah bisa ditafsirkan sebagai -isme seperti misalnya sepuluh perintah Allah. Marx pernah menulis kalimat yang kemudian terkenal kepada sejumlah pembaca yang mengklaim diri "Marxis", "yang saya tahu, saya bukanlah seorang Marxis".
Gagasan Marx diolah menjadi -isme setelah ia tiada. Tahun 1883 saat ia meninggal, ada gerakan radikal yang hidup di Eropa. Dalam perdebatan di antara orang-orang yang ingin mengubah masyarakat itu, ada yang merujuk tulisan-tulisan Marx sebagai sumber kebajikan. Marx memang intelektual yang luar biasa dan seringkali mengungguli argumen lawan-lawannya. Di tanah kelahirannya, Jerman, banyak pemimpin gerakan Sosial-Demokratik (seperti Edward Bernstein dan Karl Kautsky) adalah pembela apa yang mereka sendiri sebut sebagai Marxisme. Mereka boleh dibilang adalah pembela terpenting karena mewakili gerakan jutaan buruh dan memiliki sumberdaya yang mengesankan. Mereka melihat Marxisme sebagai analisis kapitalisme modern. Kautsky menyebutnya "doktrin ekonomi" dan memasang frasa itu dalam judul bukunya. Marxisme bagi mereka terutama adalah teori mengenai upah, profit dan harga.
Sementara itu Lenin muda, yang sangat dipengaruhi oleh diskusi Marxisme di Jerman ketika tinggal di Rusia, adalah salah satu aktivis radikal yang melihat gagasan Marx sebagai -isme. Tapi ia melangkah lebih jauh daripada penulis seperti Kautsky. Saat berusia 20-an dan 30-an tahun ia emnulis tentang Marxisme sebagai jalan memahami segala sesuatu. Ia menyebutnya: "pandangan dunia". Marxisme bagi Lenin bukan hanya cara memahami masyarakat kapitalis modern melainkan doktrin menyeluruh dengan yang dilengkapi prinsip-prinsip dasar untuk memahami keseluruhan sejarah umat manusia, proses hidup tanaman dan hewan, dan bentuk kehidupan di masa mendatang. Prinsip dasar Marxisme versinya atau kunci untuk memahami semua kenyataan di dunia, adalah materialisme dan dialektika. Lihat misalnya tulisan Marxisme dan Revisionisme yang terbit 1908. Saat merumuskan strategi gerakan ia menggunakan Marxisme seperti pentungan untuk menghajar aktivis radikal lain yang menjadi lawan debatnya. Karena itu dengan Marxisme versinya, ia bisa mengklaim tahu kebenaran absolut tentang dunia dan arah perjalanan sejarah.
Ketika partai Bolshevik yang dipimpin Lenin berhasil melancarkan revolusi melawan Tsar Rusia tahun 1917 dan menjadi partai berkuasa, orang pun menganggap Lenin memiliki strategi yang tepat. Dan kalau strateginya tepat, maka ia tentu punya prinsip-prinsip filsafat yang tepat pula untuk memandu strateginya. Keberhasilan gerakannya membuat teorinya mengenai Marxisme seakan tanpa cacat. Setelah 1917 kaum radikal menganggap Lenin sebagai penasfir gagasan Marx yang paling tepat. Lenin menjelaskan strateginya sebagai pembaruan dan adaptasi Marxisme secara kreatif. Terobosannya ada pada teori mengenai organisasi. Inti dari paradigma Lenin adalah membangun partai politik yang dapat merebut kekuasaan negara melalui insureksi di kota yang dilakukan oleh buruh industri.
Selama terlibat mengorganisir buruh Marx tidak pernah membentuk partai politik untuk merebut kekuasaan negara. Marx adalah motor penggerak yang membangun federasi serikat buruh internasional antara 1864 sampai 1872, yang dikenal dengan sebutan Internasionale Pertama. Federasi itu bukan sebuah badan terpusat dari atas ke bawah yang memberi perintah cabang-cabangnya untuk bertindak, melainkan kumpulan berbagai serikat (dari Prancis, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan lainnya) yang bertemu tiap tahun, memperdebatkan strategi dan memberi santunan bagi buruh yang mogok. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Amerika tahun 1871 Marx mengatakan pencapaian terbesar dari federasi itu adalah menghalangi buruh dari berbagai negeri dipakai untuk melawan satu sama lain: "Sebelumnya, pemogokan di satu negeri dipatahkan dengan mendatangkan buruh dari negeri lain. Internasionale hampir berhasil menghentikan itu. Organisasi ini menerima informasi rencana mogok, menyebarluaskan informasi itu kepada anggotanya, dan seketika menganggap tempat yang dilanda mogok sebagai daerah terlarang. Kaum majikan dengan begitu harus berhadapan sendiri dengan buruhnya. Dengan begini, pemogokan pembuat cerutu di Barcelona berhasil meraih kemenangan pada hari berikutnya." Internasionale Marx adalah organisasi serikat-serikat buruh, bukan himpunan partai politik.
Marx yakin bahwa buruh seharusnya mengambil kekuasaan negara tapi tidak punya blueprint universal untuk mencapai tujuan itu. Cara buruh mengambilalih kekuasaan akan berbeda dari satu negeri ke negeri lain. Ada banyak metode berbeda untuk meningkatkan kekuatan buruh: koperasi, serikat buruh, partai politik dan seterusnya. Ia berpikir bahwa di negeri tertentu seperti Inggris, di mana hak-hak sipil lebih diakui, buruh dapat merebut kekuasaan dengan aksi politik sipil. Dalam wawancara yang sama ia mengatakan, "Insureksi tidak masuk akal kalau agitasi damai lebih cepat dan pasti mendatangkan hasil."
Penekanan Lenin pada partai politik sebagai pelopor yang memimpin gerakan buruh untuk merebut kekuasaan negara melalui insureksi mungkin salah satu penafsiran yang balid terhadap gagasan Marx mengenai strategi. Tapi jelas bukan satu-satunya penafsiran yang valid. Masalahnya keberhasilan Revolusi Soviet membuat strategi Lenin seolah-olah satu-satunya penafsiran yang valid untuk semua negeri.
Seperti halnya berbagai penafsiran Marxisme dibakukan setelah kematian Marx, berbagai tafsir terhadap Leninisme juga dibakukan setelah Lenin wafat. Orang yang paling bertanggungjawab untuk membakukan versi resmi Leninisme adalah Josef Stalin, pemimpin Partai Komunis Uni Soviet yang bertangan besi. Sebelum kematiannya, Lenin mengingatkan pemimpin partai yang lain bahwa Stalin tidak boleh dibiarkan memimpin partai. Tapi Stalin akhirnya berhasil merebut kepemimpinan dalam pertarungan setelah kematian Lenin dan menciptakan kediktatoran. Lenin yang mengembangkan pikirannya sendiri tentang Marxisme, setidaknya masih setia pada pikiran Marx. Tapi Stalin menciptakan Leninisme yang sepenuhnya mengingkari Lenin (dan Marx).
Stalin menciptakan kultus individu Lenin yang sudah meninggal: patung-patung Lenin dididirikan di seluruh Uni Soviet, anak sekolah diajar untuk menyembahnya seperti tokoh superhuman tanpa cacat, dan sebuah mausoleum dibangun di Moskow, menjadi semacam tempat ziarah baru. Stalin mengatur agar jenazah Lenin dibalsem dan dengan begitu diabadikan seperti seorang firaun dari Mesir. Tafsir Stalin terhadap Lenin sebenarnya mencerminkan hal yang sama: membuat pikiran Lenin menjadi mumi yang tak bergerak. Saat jenazah Lenin tengah dibalsem, Stalin memberi kuliah di universitas yang kemudian diterbitkan 1924 dalam bentuk buku yang berjudul Dasar-Dasar Leninisme. Di bawah Stalin, Leninisme dan juga Marxisme, tidak lebih dari ideologi negara yang sakral. Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama resmi negara.
Salah satu ritual partai komunis di Uni Soviet adalah memasang potret Marx, Engels, Lenin dan Stalin dalam satu baris, seolah mereka adalah deretan orang suci, yang menghibahkan bendera revolusi buruh dari satu generasi ke yang lain. Potret-potret itu biasanya dipasang dalam pigura dan digantung di kantor-kantor partai. Gambar potret empat tokoh berukuran besar dipasang di lapangan kota dan stadion olahraga.
Saat memasuki usia senja, Karl Kautsky, merenungi pendewaan empat orang itu dan vulgarisasi pikiran Marx di Uni Soivet. Dalam Marxisme dan Bolshevisme yang terbit 1934 ia menulis, "tak ada yang lebih dikhawatirkan Marx daripada pendangkalan ajarannya menjadi sekte yang ketat… Apa yang akan dikatakannya seandainya masih hidup melihat sekelompok Marxis yang berhasil merebut kekuasaan negara malah membuat Marxisme menjadi agama negara, sebuah agama yang keyakinan dan tafsirnya diawasi oleh negara, sebuah agama yang tidak boleh ditafsirkan berbeda – salah sedikit mendapat ganjaran keras dari negara; sebuah Marxisme yang berkuasa dengan cara-cara sama seperti Inkuisisi Spanyol, dikobarkan dengan api dan pedang, menciptakan praktek ritual teatrikal seperti yang digambarkan oleh jenazah Lenin dibalut balsem?"


Membebaskan Marx dari Marxisme Soviet dan Anti-Marxisme
Uni Soviet di bawah Stalin dan penerusnya, begitu memuja Marx sampai-sampai justru melecehkannya. Marx, pelarian berjenggot asal Jerman yang hidup miskin di London akhirnya dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kediktatoran Stalin yang mengerikan dan terjadi di sebelah timur Eropa 50 tahun setelah kematiannya. Orang anti-komunis mengatakan gagasan Marx adalah akar totalitarianisme Stalin. Beberapa di antaranya malah secara absurd mengatakan bahwa akarnya dapat ditelusuri lebih jauh kepada mereka yang mempengaruhi Marx, seperti Hegel dan Rousseau. Mereka menilai Marx berdasarkan apa yang terjadi di Uni Soviet. Karena itu Marxisme dianggap runtuh seiring ambruknya Uni Soviet tahun 1990, seolah-olah nasib analisis Marx tentang kapitalisme sepenuhnya bergantung pada keberadaan Uni Soviet.

Literatur tentang Marxisme yang diterbitkan negara Soviet juga mengacaukan persepsi kita tentang Marx. Terbitan-terbitan itu cenderung mereduksi gagasan Marx menjadi perangkat prinsip yang kebal kritik: materialisme historis dan materialisme dialektik adalah prinsip yang paling terkenal, seperti dikatakan Herbert Marcuse dalam Marxisme Soviet: Sebuah Kritik.
Marx sendiri tidak pernah membuat apalagi menganut prinsip-prinsip yang dalam kepustakaan Soviet disebut berasal darinya. Menurut versi standar Soviet tentang materialisme historis, Marx digambarkan sebagai orang yang percaya bahwa perubahan dalam teknologi akan menghasilkan perubahan dalam pengorganisasian produksi ekonomi yang nantinya akan menghasilkan perubahan dalam kebudayaan. Ini adalah pandangan teori sejarah "determinsime teknologi", karena menganggap teknologi sebagai penyebab dasar semua perubahan sosial. Marx sendiri tahun 1881 menulis surat-surat kepada "Marxis" Rusia yang mengatakan teori "determinisme teknologi" ini adalah miliknya. Marx membalas bahwa ia tidak pernah bermaksud merumuskan "teori lintas-sejarah" yang valid untuk sejarah umat manusia.
Untuk memahami pikiran Marx, orang perlu membaca teks-teksnya dan memahaminya dalam konteks sejarah, membebaskannya dari interpretasi mereka yang menyebut dirinya Marxis. Pikiran Marx seharusnya dilihat lepas dari pikiran orang lain, termasuk sahabatnya yang sering menulis bersama, Friedrich Engels. Berbeda dari anggapan tradisi Marxis yang berkembang kemudian, kedua orang ini tidak bisa dianggap sebagai kembar siam secara ideologi. Dalam beberapa hal, tulisan Engels justru menjadi awal dari vulgarisasi pikiran-pikiran Marx. Ia misalnya menulis tentang dialektika sebagai prinsip a priori untuk memahami semua gejala alam. Prinsip yang sama sekali tidak ada dalam tulisan Marx. Karena Engels hidup lebih lama, sampai 1894, ia giat terlibat dalam politik radikal di Eropa dan banyak Marxis, termasuk Lenin, memahami Marx berdasarkan tafsiran Engels.
Marx bukan orang suci atau setan. Ia seorang intelektual cemerlang yang coba memahami dunia sekelilingnya. Argumennya tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritik, tapi sebaliknya tidak bisa dikritik tanpa terlebih dulu menggeluti teks-teksnya secara teliti. Pikiran Marx dalam hal ini sama pentingnya bagi zaman modern seperti halnya Kant, Hegel, Darwin, Freud dan Weber.
Sering dikatakan bahwa ilmu sosial Barat adalah dialog berkepanjangan dengan Marx. Dialog ini biasanya tidak adil terhadap Marx. Jika di Indonesia setelah 1965 kaum intelektual menyetujui pemberangusan pikiran Marx, di Barat intelektual membiarkan Marx bicara tapi tidak mau mendengarkannya. Buku-bukunya bisa didapat dengan bebas dan dipakai dalam kuliah di universitas. Teks-teks Marx bukan hanya sulit dibaca tapi juga dikelilingi rerimbunan argumen anti-Marxis. Banyak intelektual yang sepertinya merasa wajib menciptakan alasan tertentu untuk mendiskreditkan dirinya. Dengan adanya sentimen anti-Marxis ini, tentu mudah menganggap Marx sebagai idiot atau sebagai pemberontak yang bernapsu jahat tanpa berusaha mendengarnya terlebih dulu.
Dalam hitungan saya sekurangnya ada delapan kritik terhadap Marx yang biasa dipakai. Ia dituduh, (1) terlalu materialistik dan tidak memberi perhatian pada ideologi dan kebudayaan, (2) seorang pemikir dari abad ke-19 yang tidak relevan lagi dalam abad ke-20 atau ke-21 ini, (3) seorang pemikir Eropa yang tidak relevan bagi wilayah lain di luar Eropa, (4) seorang chauvinist yang mendukung kolonialisme, (5) menerapkan pandangan "teleologis" dalam sejarah – artinya menganggap masyarakat manusia menuju arah tertentu, yakni sosialisme, (6) hanya memperhatikan penindasan kelas dan tidak memahami jenis-jenis penindasan lain seperti misalnya, ras dan jender, (7) menentang demokrasi karena mendukung gagasan "kediktatoran proleratiat" dan (8) seorang ateis yang menganggap agama sebagai "candu bagi rakyat".
Saya pikir tak satu pun kritik itu akan berlaku setelah kita membaca karya Marx dengan hati-hati. Kritik-kritik itu biasanya salah sama sekali dan harus ditolak, atau tidak terlalu tepat sehingga harus dirumuskan lagi. Misalnya mengenai butir terakhir. Ia tidak melihat agama semata-mata sebagai siasat kelas penguasa untuk menipu kelas-kelas bawah dan menghalangi mereka memahami realitas penindasan (karena itu disebut "candu bagi rakyat"). Ia juga menyebut agama sebagai "hati dalam dunia tanpa nurani" dan "keluh duka kaum tertindas". Ia paham bahwa buruh berpaling pada lembaga agama untuk mencari dukungan emosional dan bantuan ekonomi saat mereka berjuang bertahan hidup dalam ketidakpedulian terhadap nasib mereka. Dalam hal ini Marx sama ateisnya dengan kaum borjuis di zamannya. Seperti banyak orang lain di zaman itu, ia menganggap berkembangnya ilmu dan keamanan ekonomi membuat orang tidak lagi melihat perlunya agama. Jadi, ia tak pernah menyerang agama atau mengobarkan pelarangan terhadap agama. Tentu saja ada alasan untuk bersikap kritis terhadap Marx. Anjuran saya, sebaiknya kita mempelajarinya sungguh-sungguh sebelum mengkritik.
Sungguh ironis bahwa politisi Indonesia memilih mempertahankan pelarangan terhadap tulisan Marx setelah krisis ekonomi Asia 1997. Padahal Marx dengan piawai menggambarkan naik turunnya siklus kapitalisme yang dahsyat: "Revolusi terus menerus dalam produksi, kacaunya kondisi sosial tanpa henti, ketidakpastian dan kegelisahan yang berurat-akar membedakan era borjuis dari yang ada sebelumnya. Semua hubungan yang pasti dan membeku, berikut gelombang prasangka dan pendapat yang kuno lagi suci, disapu habis, segala yang baru terbentuk menjadi usang sebelum sempat mengental. Segala yang padat menguap dalam udara". Bukankah kalimat dari 1848 ini dengan tepat menggambarkan keadaan Indonesia sekarang, ketika semua yang kita anggap padat ternyata menguap dalam udara?
Krisis ekonomi mengungkap bahwa kemakmuran dan keamanan Orde Baru sebenarnya ilusi saja – semuanya menguap dalam udara. Bukankah kapitalisme, sistem yang hanya dapat bertahan dengan pertumbuhan dan pasar tanpa kontrol, senantiasa menghasilkan perubahan dan instabilitas? Bukankah tujuan Marx sesungguhnya adalah mengakhiri perubahan dahsyat dan revolusi yang dihasilkan kapitalisme itu? Anggota MPR bisa saja melarang tulisan Marx karena dianggap "revolusioner", tapi apa yang mereka lakukan untuk mencegah revolusi-revolusi kapitalisme, seperti revolusi yang menghantam Indonesia tahun 1997 dan berakibat jutaan orang menjadi penganggur dan terhempas ke kemiskinan absolut?


>>>Untuk membaca karya-karya Marx, Engels, Kautsky, Lenin dan Marxis lainnya kita dapat melihat arsip Internet yang tidak berhasil disensor pemerintah Indonesia di www.marxists.org



JOHN ROOSA, sejarawan yang bekerja di Universitas California, Berkeley, AS.

Penulis Buku "pretext for Mass Murder" (Dalih Pembunuhan Massal) > dicekal Pemerintah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No: SPAM, SARA, dan sejenisnya
Yes: Kritik, Saran, Pendapat, Komentar, Balasan, dan semua yang bersifat baik